I do no know much about Indonesia history; but this name Siauw Giok Tjhan, seems to attract my attention. Because he is the first Indonesian clan man with surname of Xiao that I come across in my reading. Certainly he had played a very important role in early nation building of Indonesia. Disregard his political thinking, he is still a remarkable clanman of Xiao. Siauw Giok Tjhan, was a cabinet minister under Sukarno, but imprisoned for 10 years by Suharto.
In 1934, the young journalist Siauw Giok Tjhan who had just graduated from HBS in Surabaya, joined the PTI(Partai Tionghoa Indonesia or Indonesian Chinese Party), found in 1932 by Liem Khoen Hian. The party regarded Indonesia as motherland, and supported Indonesia Merdeka Sekarang(Indonesia Independent Now!) movement, together with Indonesian nationalist. Partai Tionghoa Indonesia (Indonesian Chinese Party) was formed in Surabaya. The PTI actively supported the demand of the Indonesian cooperating nationalist for independence, and regarded themselves as Indonesian nationalist party. However, the Indonesian nationalists, with few exceptions, did not fully accept it in that character. He participated in the Indonesian independence movement during the colonial period was in line with Peranakan Chinese Party, a political party of Indonesian born Chinese, who considered they have no interest with the totok-Chinese(China born Chinese), who they considered having interest opposed to theirs.
Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) - Consultative Body for Indonesian Citizenship was formed in March 1954. Under the leadership of Siauw Giok Tjhan (A cabinet minister under Amir Sjarifuddin Prawiranegara emergency government in 1948), Baperki conducted vigorous campaign against racial discrimination.
In 1960,controversy arose among Indonesian Chinese between those advocating total assimilation to Indonesian society to the point of abandoning Chinese customs and cultural traits, and those preferring integration with political loyalty and identification with Indonesia but not with abandonment of ethnic identity. The assimilationist movement were launched through the publication of a manifesto in Star Weekly magazine by ten peranakan Tionghoa including Injo Beng Goat (Director of Keng Po) and Auwjong Peng Koen (Editor of Star Weekly). The manifesto was a direct challenge to Siauw Giok Tjhan's statement that the solution to minority problem by means of name changing and biological assimilation was unwise, undemocratic, an invasion of basic human rights and impracticable. The latter was personally supported by President Soekarno who thought a person's name was his own private affair and he did not need to change his name to be a good citizen.
1962 - The assimilationist formed a standing committee to promote national unity with the blessing of the army high command under General Nasution (Minister of Defense and Army Chief of Staff). This committee became Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB - Institute of Promoters of National Unity) in early 1963.
1965 -After the failed PKI (Indonesian Communist Party) coup attempt, under the pressure of the army and LPKB, Baperki branches dissolved themselves. Its members were caught in an anti-leftist purge of gigantic proportions. Chinese language press was closed down. The Res Publica University was burnt down. The Chinese Commercial Council were raided. Many of the more prominent Baperki members were jailed. On 4-11-1965, Siauw was jained by Suharto. He was only released in 1978 after illness.
He died on 20 November 1981, at Leiden, Holland at the age of 67.
萧玉灿(Siauw Giok Tjhan)1914-1981
萧玉灿(Siauw Giok Tjhan)是印尼华人最受尊敬的政治家。他自已在印尼监狱蹲过12年多
印度尼西亚籍协商会 ,简称国协。印度尼西亚群众性社会政治组织。1954年3月31日创立于雅加达。首任主席萧玉灿(Siauw Giok Tjhan,1914-1981)。其宗旨是:争取实现印尼民族的理想,促使每个公民成为真正的印尼公民;争取实现民主原则和基本人权原则;争取实现不分种族、文化、风俗习惯和宗教信仰,每个公民都享有平等的权利、义务和机会。1965年九三0事件后被印尼政府取缔。
身为 Barisan Pemberontak Rakyat(人民起义队)领导的 Bung Tomo,对印度尼西尼共和国的独立有着很大的功献。被称为“广播将军”的他,通过泗水(Surabaya)广播电台里激情燃烧的演讲,将奋斗作战的精神传入百姓的耳朵里。只可惜他的演讲总带着民族歧视的色彩,有排华的倾向。正是他那些排华的演讲主题激起了东爪哇本地人民对华人的敌意。
Dr. Go Gien Tjwan。他是Baperki的副主席,也曾就任第一位Antara董事等职位。他是被 Orde Baru (新世纪)丢去的一个人。忽视了他对印尼在日惹(Jogja)时代的抗战功劳不说,如今却要以政治界流亡者的身份流亡荷兰国。
每星期三晚上,Bung Tomo 都会在广播电台里进行演讲。而在他的演讲里,必定会说出一些诋毁及诽谤华人的话来。
看到了Bung Tomo 煽动谣言的不良影响之后,Go Gien Tjwan 以Angkatan Muda Tionghoa(华人少年队)的代表人身份曾经过演讲告诉了印尼人民,印尼的真正敌人并非华人而是荷兰人,而华人也是受害者之一。
之后,Siauw Giok Tjhan(萧玉灿)令他的战友们去见 Bung Tomo,劝他改一改他的排华行为。据 Go Gien Tjwan 说,当时去了四位华族少年。其中两个是 Siauw Giok Tjhan 的弟弟,Siauw Giok Bie 和 Go Gien Tjwan自己。Siauw Giok Tjhan本人拒绝去见Bung Tomo。“见了这般法西斯分子,不是我的级别!”他说。于是,去见 Bung Tomo 的是之前提过的那四个年轻人。但是Bung Tomo 还是坚持自己的意见,认为大部分华人是向着荷兰人的。 终于在 1945年10月,Siauw Giok Tjhan 带领了华族少年代表团去见一些 Pesindo 的左派人物,其中是 Soemarsono 和 Soedisman(后在60年代成了印尼共产党总部管理员)。在此交谈中,他们成功达成一个协议:将华族少年团、Badan Pemberontak Rakyat Indonesia(印尼人民起义队)和 Pesindo 合成一个抗战团队。
印度尼西亚华人改名换姓运动并非出于自愿(只有少数华人同化派人士是自愿的),而是在政府的强迫命令和排华舆论的强大压力下不得已而为之。除了在法律上和在现实社会生活中招来的许多麻烦之外,印度尼西亚华人的民族自豪感、自尊心和传统价值观也使他们对改名换姓颇有抵触情绪,并采用不同的方式来表示他们对改名换姓的不满。一、因法律规定不得强迫改名换姓,因此有些知名人士(尤其是政界和专业人士)坚决抵制改名换姓,例如:萧玉灿(Siauw Giok Tjhan)、黄自达(Oei Tjoe Tat)、洪渊源(Ang Yan Goan)、郭建义(Kwik Kian Gie)、苏福义(Soe Hok Gie)、曾祖沁(Tjan Tjoe Siem)、曾祖森(Tjan Tjoe Som)、王福涵(Ong Hok Ham/Onghokham)、黄钻娘(Oei Soan Nio)、黄鸿坚(Oei Hong Kian)等都公然拒绝改名换姓。
而萧年轻时,正是在陈粦如(Tan Ling Djie)和另一位激进华裔人士蔡锡胤(Tjoa Sik Ien)的影响下,成为马克思主义和毛泽东领导的中国革命的支持者,并翻译了埃德加-斯诺的《西行漫记》(或名《红星照耀中国》)。此后,萧在国内政治活动中(包括日据时代和抗荷时期),继续受陈的政治观点和主张的影响。1948年“茉莉芬事件”后,萧也比较赞同陈提出的关于印共发展方向和国内议会斗争的一套理论。总之,萧自始至终一直“以陈为师”。
据萧的儿子萧忠仁所著《萧玉灿传》一书透露,1948年年底,也就是“茉莉芬事件”发生后不久,约多与艾迪和鲁克曼一起被选入印共中央政治局。后来,是他们在印共理论刊物《红星》(Bintang Merah)杂志上发表文章,指责陈粦如和阿里明背离了慕梭所制定的新道路。当时,艾迪27岁,鲁克曼30岁,约多25岁。(见第94页)
《萧玉灿传》一书还透露,从1951年起,即陈被批判后,就一直住在萧家,萧的孩子们都称他为伯伯。(见第40页)1965年9-30运动发生后,萧于同年11月4日被拘留。接着,陈也没能幸免,于1966年被军人集团拘留于泗水(Surabaya),6个月后,因挨饿而患脚气病,惨死在拘留所,享年65岁。(见第270-271页)
萧则被监禁近十年后,于1975年9月获准回家软禁,1978年8月才正式获释,前后被苏哈多右派军人集团关了近13年,虽没遭严刑拷打,却历尽磨难。同年9月,由于健康状况恶化,与妻子启程前往荷兰就医。在荷兰治疗期间,萧不顾重病在身和医生劝告,为了说服定居于欧洲陷入四分五裂、意见分歧甚至互相敌视的印尼流亡者,放弃前嫌,团结一致,几乎是马不停蹄地四处奔波,开会做报告。与此同时,他继续鼓吹自己一贯坚持的社会主义乃印尼必由之路的主张;开展筹集资金活动,以协助刚获得释放的政治犯及其家属的生活,以及推动要求释放印尼政治犯的运动。1981年11月20日,萧打算在莱顿城莱顿大学(Leiden University)向一批印尼问题专家学者发表演讲之前几分钟,因心脏病发作,猝然离开人世,享年67岁。一代杰出的印尼华人政治领袖的忠魂,就此直上重霄九。
Siauw Giok Tjhan
Siauw Giok TjhanSiauw Giok Tjhan (lahir di Kapasan, Simokerto, Surabaya, Jawa Timur, 23 Maret 1914 – meninggal di Leiden, Belanda, 20 November 1981 pada umur 67 tahun) adalah seorang politikus pejuang dan tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia dari golongan Tionghoa-Indonesia.
Ayahnya bernama Siauw Gwan Swie, seorang peranakan dan ibunya Kwan Tjian Nio, seorang totok. Memiliki adik bernama Siauw Giok Bie. Siauw pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen RIS, parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu 1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA. Salah satu warisan buah karya Siauw ialah Universitas Trisakti yang dulu didirikan oleh Baperki dengan nama Universitas Res Publika, yang kemudian diubah namanya menjadi Universitas Trisakti. Siauw Giok Tjhan wafat di Belanda pada tanggal 20 November l98l, beberapa menit sebelum memberikan ceramah di Universitas Leiden.
Siauw sejak kecil sudah mempunyai watak perlawanan atas penghinaan dan ketidakadilan yang menimpa diri dan kelompok etnisnya. Saat itu, ejekan "cina loleng" sering sekali dilayangkan oleh kelompok anti-Tionghoa untuk merendahkan orang-orang Tionghoa. Begitulah, dengan kemahiran kung-fu yang dipelajari dari kakeknya, memungkinkan Siauw Giok Tjhan untuk berkelahi melawan anak-anak Belanda, Indo, dan Ambon yang mengejek dirinya. Istilah "cina-loleng" adalah salah satu penghinaan yang biasa dilontarkan untuk etnis Tionghoa. Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam memperjuangkan keadilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus dihadapi. Terutama setelah kedua orang tuanya meninggal dalam usia muda, ia terpaksa melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk mencari nafkah meneruskan hidupnya bersama adik tunggalnya, Siauw Giok Bie yang masih harus meneruskan sekolah itu.
Orang sederhana
Ada beberapa peristiwa yang memperlihatkan Siauw Giok Tjhan adalah seorang yang sangat sederhana, keras pada diri-sendiri, tapi sabar pada orang lain.
Begitu keras dan disiplinnya tidak menggunakan milik umum untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Tan Gien Hwa, istrinya ketika di Malang, September 1947 akan melahirkan anak ke-4. Adik satu-satunya, Siauw Giok Bie hendak menggunakan mobil Palang Biru. Ia melarang Siauw Giok Bie untuk mengantar kakak iparnya (Ny. Siauw Giok Tjhan) ke rumah sakit dengan menggunakan fasilitas umum. Palang Biru adalah organisasi Angkatan Muda Tionghoa untuk memberikan pertolongan pertama kepada prajurit-prajurit yang terluka di garis depan melawan agresi militer Belanda. Beruntung, sekalipun harus diantar dengan naik becak, Ibu Siauw Giok Tjhan bisa melahirkan Siauw Tiong Hian dalam keadaan selamat.
Pada saat ia dilantik menjadi menteri negara Urusan Minoritas oleh Kabinet Amir Syarifudin, Siauw yang belum mendapatkan mobil menteri, hanya bisa naik andong (kereta kuda) untuk ke ke Istana. Tapi malang, ternyata andong dilarang memasuki halaman Istana, terpaksa ia turun dari andong dan dengan jalan kaki masuk Keraton Yogyakarta. Pada saat itu ia juga terbentur dengan masalah rumah tinggal. Ternyata tidak ada perumahan pemerintah yang bisa diberikan kepadanya sebagai menteri negara. Pada saat itu, menteri yang datang dari luar Yogyakarta, boleh tinggal di Hotel Merdeka. Tapi untuk menghemat pengeluaran uang negara, Siauw memilih tinggal di gedung kementerian negara, di Jalan Jetis, Yogya, dan harus tidur di atas meja tulis.
Kesederhanaan hidup sehari-hari, sebagaimana biasa kemana-mana hanya mengenakan baju kemeja-tangan pendek, yang lebih sering terlihat hanya berwarna putih, celana-drill pantalon dan bersepatu sandalet saja itu, beliau harus berkali-kali dianggap sebagai orang kere yang tidak perlu dilayani oleh noni-noni pejabat administrasi kenegaraan Indonesian pada saat beliau harus menemui Menteri-Menteri atau Presiden-Direktur Bank. Tapi, itulah pembawaan Siauw yang sangat bersahaja, yang dikagumi oleh kawan-kawan maupun lawan-lawan politiknya.
Konsep Integrasi
"Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putra-Putri Indonesia" adalah semboyan yang untuk pertama-kalinya dikumandangkan Kwee Hing Tjiat melalui Harian MATAHARI di Semarang sejak tahun 1933-1934. Dan semboyan ini benar-benar menjadi keyakinan-hidup Siauw Giok Tjhan sejak masa muda, berjuang menjadi putra ter-baik Indonesia yang tidak ada bedanya dengan putra-putra Indonesia bersuku lainnya dalam usaha dan memperjuangkan kemerdekaan dan kebahagiaan hidup bersama.
Dalam menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia, Siauw Giok Tjhan menganut konsep Integrasi yaitu konsep menjadi Warga Negara dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing masing komponen masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep Integrasi yang diperjuangkan oleh Siauw Giok Tjhan ini sangat identik dengan teori "pluralisme" atau "multikulturalisme".
Menurut Siauw Giok Tjhan, Indonesian Race - Ras Indonesia - tidak ada. Yang ada adalah "Nasion" Indonesia, yang terdiri dari banyak suku bangsa. Siauw berpendapat, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa adalah bagian dari "Nasion" Indonesia. Berdasarkan pengertian inilah, Siauw mencanangkan konsep integrasi, sebagai metode yang paling efektif dalam mewujudkan "Nasion" Indonesia - Nasion yang ber-Bhineka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi bersatu. Setiap suku, termasuk suku Tionghoa, harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam tubuh "Nasion" Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi, sehingga aspirasi "Nasion" Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku. Berpijak di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan bahwa setiap suku tetap mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku lainnya dalam membangun Indonesia.
Menentang Asimilasi
Menurut Siauw Giok Tjhan, kecintaaan seseorang terhadap Indonesia, tidak bisa diukur dari nama, bahasa dan kebudayaan yang dipertahankannya, melainkan dari tindak tanduk dan kesungguhannya dalam berbakti untuk Indonesia. Konsep ini kemudian diterima oleh Bung Karno pada tahun 1963, yang secara tegas menyatakan bahwa golongan Tionghoa adalah suku Tionghoa dan orang Tionghoa tidak perlu mengganti namanya, ataupun agamanya, atau menjalankan kawin campuran dengan suku non-Tionghoa untuk berbakti kepada Indonesia.
Oleh karena itu Siauw Giok Tjhan menentang konsep asimilasi yang dikembangkan oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), dibawah kepemimpinan Kristoforus Sindhunata pada awal 1960-an. LPKB yang dimotori oleh para politisi katolik seperti Harry Tjan Silalahi, Onghokham dsb mencanangkan asimilasi sebagai "terapi" penyelesaian masalah Tionghoa. Dengan asimilasi mereka bermaksud golongan Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoaan-nya dengan menanggalkan semua kebudayaan Tionghoa, mengganti nama-nama Tionghoa menjadi nama-nama Indonesia dan kawin campur antar ras. Dengan demikian, golongan Tionghoa tidak lagi bereksistensi sebagai golongan terpisah dari golongan mayoritas. Kalau ini dijalankan, LPKB menyatakan, lenyaplah diskriminasi rasial.
Siauw tidak menentang proses asimilasi yang berjalan secara suka-rela dan wajar. Yang ia tentang adalah proses pemaksaan untuk menghilangkan identitas sebuah golongan, karena menurutnya usaha ini bisa meluncur ke genosida, seperti yang dialami oleh golongan Yahudi pada masa Perang Dunia ke II.
Putra bungsu Siauw Giok Tjhan yang bernama Siauw Tiong Djin menyatakan bahwa efek samping dari penerapan konsep Asimilasi yang pada awalnya dipercaya mempunyai maksud baik, namun pada saat pelaksanaannya oleh penguasa Orde Baru, kebijakan asimilasi itu dijadikan Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang bentuknya memaksa, sehingga timbulah larangan yang kita alami selama 32 tahun tersebut. Sejarah membuktikan bahwa akibat dari itu semua akhirnya meledak pada Kerusuhan Mei 1998, dimana terjadi pembunuhan, penjarahan dan pemerkosaan terhadap kelompok minoritas Tionghoa.
BAPERKI
Siauw Giok Tjhan adalah ketua umum Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI), sebuah organisasi massa yang didirikan pada suatu pertemuan di Gedung Sin Ming Hui di Jakarta pada 13 Maret 1954. Pertemuan ini dihadiri oleh 44 orang Tokoh Tionghoa, kebanyakan dari mereka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa, seperti PERWITT (Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa) yang berpusat di Kediri, PERWANIT (Persatuan Warga Indonesia Tionghoa) yang berdiri di Surabaya dan PERTIP (Perserikatan Tionghoa Peranakan) yang berdiri di Makassar. Semua peserta adalah peranakan Tionghoa yang umumnya berpendidikan Belanda. Sebagian besar dari mereka berasal dari Jawa, tetapi ada pula sebagian yang berasal dari luar Jawa, seperti Padang, Palembang, dan Banjarmasin.
Mereka mewakili semua spektrum politik di Indonesia saat itu, antara lain tokoh-tokoh golongan kanan, seperti Khoe Woen Sioe, Tan Po Goan, Auwyong Peng Koen, Tan Siang Lian. Tokoh-tokoh golongan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Jang Goan, dan mereka yang bergaris netral, seperti Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian dan Liem Koen Seng (adik Liem Koen Hian).
Siauw Giok Tjhan terpilih sebagai Ketua Umum, sementara wakil ketuanya adalah Oei Tjoe Tat, Khoe Woen Sioe, The Pek Siong, dan Thio Thiam Tjong. Baperki Cabang Jakarta dibentuk pada 14 Maret 1954 dan diketuai oleh Sudarjo Tjokrosisworo (seorang pribumi Indonesia).
Baperki ikut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw Giok Tjhan sebagai wakilnya.
Pada tahun 1958 Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan Baperki mulai berpikir untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi. Maka pada tahun itu dibukalah Akademi Fisika dan Matematika yang tujuan utamanya adalah mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah itu, pada 1959, dibuka pula Kedokteran Gigi (September), dan Teknik (November). Pada 1962 dibuka Fakultas Kedokteran dan Sastra. Rektor pertama Universitas Baperki ini adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi menteri dalam beberapa kabinet di masa demokrasi parlementer.
Pada 1962, nama Universitas Baperki diubah menjadi Universitas Res Publica yang biasa disingkat sebagai URECA, dengan cabang-cabang di berbagai kota di Jawa dan Sumatra. Setelah peristiwa G30S, Universitas Res Publica ditutup, dan gedungnya diambil alih oleh pemerintah. URECA di Jakarta kemudian dibuka kembali dengan kepengurusan yang baru, dengan nama Universitas Trisakti.
Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave dan C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo.
Setelah tragedi Gerakan 30 September 1965, Baperki dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru karena dituduh sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia. Sejumlah aktivisnya, seperti Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili.
Partai Tionghoa Indonesia
Siauw Giok Tjhan memasuki kancah politik nasional Indonesia melalui proses pembentukan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang dipelopori oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Berusia 18 tahun, Siauw menjadi salah seorang pendiri PTI termuda. PTI berkembang sebagai aliran terbaru di dalam komunitas Tionghoa di zaman Hindia Belanda. Ia mendorong semua Tionghoa di kawasan Hindia Belanda, terutama yang lahir di sana, untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Argumentasinya, menurut perspektif masa kini, sangat masuk di akal. Orang Tionghoa pada umumnya lahir, hidup dan meninggal di Indonesia. Setelah hidup bergenerasi, kaitan dengan Tiongkok semakin berkurang.
PTI mendukung berdirinya GERINDO (Gerakan Rakyat Indonesia) pada tanggal 18 Mei 1937, yang berdasarkan keputusan Kongres di Palembang, menerima Oei Gee Hwat (Sekretaris Pengurus Besar PTI) menjadi salah seorang pengurus GERINDO. Ketika itu, GERINDO dibawah pimpinan A.K. Gani, Amir Syarifudin, Mohammad Yamin dan lain lain melanjutkan usaha perjuangan tokoh-tokoh PNI, Partindo, yang di-Digul-kan dan masih dalam pembuangan. Jadi, GERINDO menjalankan garis demokrasi yang mengutamakan perlawanan terhadap fasisme dan tidak mempersoalkan warna-kulit yang berbeda, bisa membuka pintu untuk menerima etnis Tionghoa.
Perkawinan Sosialisme dan Kapitalisme
Siauw Giok Tjhan dianggap sebagai tokoh yang memperjuangkan hak komunitas Tionghoa. Akan tetapi sebenarnya ia senantiasa bersandar atas prinsip yang dianugrahi PTI sejak tahun 1932, yaitu pemecahan masalah Tionghoa tidak terpisahkan dari masalah nasional Indonesia. Karena prinsip ini, Siauw Giok Tjhan kerap melontarkan pandangan-pandangan, di dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, yang sifatnya membenahkan struktur Indonesia secara keseluruhan.
Pada tahun 1950-an, Siauw tekun menyebar-luaskan pandangannya dalam hal pengembangan ekonomi domestik. Pada hakekatnya, ia menganjurkan dilaksanakannya sebuah kebijakan ekonomi pemerintah yang menyuburkan pada usaha yang dikelola oleh para pedagang Indonesia tanpa memandang latar belakang ras si pedagang.
Argumentasinya, modal domestik ini sangat dibutuhkan untuk membangun ekonomi Indonesia dan pengkonsolidasian usaha domestik akan mempercepat kemakmuran yang bisa diarahkan kemerataannya.
Siauw menentang digalakkannya usaha-usaha raksasa yang dikelola oleh kekuatan multi-nasional karena menurutnya keuntungan usaha semacam ini, yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan negara akan ditarik keluar dari Indonesia. Ia beranggapan kebijakan ekonomi yang membunuh usaha domestik dan membangun jaringan multi-nasional akan merugikan Indonesia.
Bilamana modal domestik dikembangkan, ia berargumentasi, keuntungan yang diperoleh akan dipergunakan oleh para pengusaha domestik untuk mengembangkan usahanya, sehingga Indonesia secara keseluruhan memperoleh faedahnya. Pandangan ekonomi digambarkan di atas sebenarnya mencanangkan "perkawinan" antara paham sosialisme dan kapitalisme. Ia menginginkan kapitalisme skala domestik berkembang untuk mempercepat proses perwujudan sosialisme ala Indonesia.
Pada tahun 1950-an, pandangan ekonomi Siauw cukup banyak ditentang oleh beberapa tokoh PKI di parlemen, seperti Sakirman. Mereka mempromosikan konsep ekonomi sosialisme yang menghendaki kapitalisme dikikis habis.
Kedekatan Siauw dengan Bung Karno dan para tokoh politik di zaman Demokrasi Terpimpin memungkinkan pandangan ekonomi ini masuk ke dalam kebijakan ekonomi yang tercantum di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1964.
Sayangnya kebijakan ini tidak pernah dilaksanakan karena kekuasaan politik beralih ke tangan Soeharto lebih tertarik ke arah Kapitalisme.
(source: wikipedia, Indonesia)
Related articles/books/websites:
1. Siauw Giok Tjhan remembers: a Chinese peranakan in independent Indonesia. Book 2. Part 3 (1984), by Giok Tjhan Siauw, Peter Burns,
No comments:
Post a Comment